Admin
2017-08-24

Koalisi LSM Mengapresiasi Terbitnya Perpres Sustainable Development Goals

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sustainable Development Goals menyambut baik diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan oleh Presiden Joko Widodo pada 4 Juli 2017 lalu.

Senior Adviser International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Michael B Hoelman menyatakan bahwa perpres tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah melaksanakan SDGs. Sebagai informasi, Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) adalah sebuah agenda pembangunan global yang terdiri dari 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat tercapai pada 2030.

“Perpres merupakan indikasi komitmen serius dari Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan dan mencapai SDGs. Melalui Perpres ini, Presiden Jokowi memimpin langsung langkah dan strategi Indonesia untuk mencapai Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (25/7), sebagaimana siaran pers INFID yang diterima KlikLegal.

Michael menambahkan, perpres ini bagi Presiden Jokowi merupakan alat bantu dan daya ungkit untuk memastikan prioritas pembangunan yang tinggal 2,5 tahun ini. Perpres dapat digunakan untuk mempercepat dan memastikan pembangunan yang sesuai dengan janji kampanye presiden.

Peraturan Presiden 59/2017 ini memandatkan beberapa hal, di antaranya, (1) arahan kepada Bappenas untuk menyiapkan peta jalan Indonesia hingga tahun 2030 dan (2) perencanaan nasional dalam pembentukan Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs. Salah satu cara untuk menilai keseriusan Perpres, dapat dipastikan dalam apakah dalam Pidato Nota Keuangan Presiden bulan Agustus sudah mengakomodir peta jalan SDGs dan RAN SDGs.”

Kendati demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang mesti diselesaikan Indonesia menuju tercapainya Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jonna Damanik, Program Koordinator SDGs dan UPR (Universal Periodic Review, red) dari Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), mengingatkan bahwa kehadiran Perpres harus mampu memastikan tidak seorang pun tertinggal dalam pelaksanaan pembangunan.

“Pemerintah harus bisa mengidentifikasi siapa dan di mana mereka yang tertinggal tersebut, untuk kemudian dilibatkan dalam keseluruhan proses pembangunan. Paradigma inklusivitas dalam partisipasi warga selayaknya menjadi dasar partisipasi warga yang dimaksudkan dalam Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan SDGs ini. Prinsip SDGs leave no one behind (tidak meninggalkan seorangpun, red) perlu membawa perspektif hak asasi manusia, sehingga partisipatif yang terbentuk tidak sekedar mengundang kelompok tertinggal tetapi juga melibatkan mereka dalam dialog pembangunan,” tuturnya.

Hal senada disampaikan Lia Toriana, Deputi Program Transparansi Internasional Indonesia. Menurutnya perpres ini diharapkan dapat menciptakan keadilan, baik secara substansial maupun prosedural. Produk kebijakan dan program semacam ini juga sebaiknya melibatkan warga, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas yang kerap ditinggalkan.

“Perpres ini harus mampu mendorong adanya akuntabilitas pembangunan serta membuka ruang bagi partisipasi warga dalam pembangunan,” tuturnya.

Terkait dengan isu transparansi, Lia menyoroti empat hal, yaitu 1) bagaimana prioritas pembangunan menggunakan anggaran secara tepat sasaran; 2) keterlibatan warga bukan sekedar gimmick tetapi sudah mulai substansial—seperti musyawarah pemanfaatan anggaran desa; 3) bagaimana membentuk mekanisme perlindungan terhadap warga negara dalam memonitoring dan pengawasan pembangunan—misalnya whistle blower sebagai prasyarat pembangunan; dan 4) pelibatan masyarakat sipi dalam partisipasi pembangunan.

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, menekankan pelibatan semua pihak harus diimplementasikan di semua tingkat pemerintahan, dari nasional hingga ke daerah. Pengawasan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengurangi reduksi-reduksi substanstif sebagaimana yang telah dilakukan di lampiran Perpres.

“Dalam lampiran Perpres misalnya rincian kerja layak hanya mengelaborasi permasalahan-permasalahan tentang keselamatan kerja. Deskripsi tersebut tidak cukup menjangkau ke isu lain yang dialami oleh kelompok yang benar-benar terpinggirkan, misalnya isu modern slavery (perbudakan modern, red),“ ucapnya.

Zumrotin K Susilo, Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan mengatakan, kehadiran Perpres ini menjadi peluang adanya kerja bersama antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan.  Lebih lanjut Zumrotin menjelaskan selama ini partisipasi masyarakat hanya terjadi di level perencanaan, sedangkan kelompok masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam tahap pelaksanaan dan pengawasan. Karenanya, peran masyarakat sipil dioptimalkan dalam kedua tahap tersebut untuk menghindari pelaksanaan yang sering meleset dari perencanaan.

Indry Oktaviani, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, menuturkan, kelompok perempuan di tingkat Kabupaten telah menunggu kehadiran Perpres, untuk menjadikannya sebagai acuan dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan serta evaluasi TPB bersama pemerintah daerah.

“Oleh karenanya Perpres perlu ditindaklajuti dengan sosialisasi dan mendorong pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Aksi Daerah secara partisipatif,” ujarnya.

Indry menambahkan pekerjaan rumah yang dihadapi oleh kelompok perempuan adalah mengintegrasikan perspektif gender dalam Rencana Aksi Nasional, Rencana Aksi Daeah, hingga rencana pembangunan di tingkat desa.

Hamong Santono, Senior Program Officer SDGs INFID, mengatakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk SDGs mengharapkan Menteri Bappenas, Bambang Brojonegoro mampu menerjemahkan pertimbangan-pertimbangan utama tersebut ke dalam prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018.  Bappenas harus segera bekerja memastikan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam Tim Pelaksana TPB sebagaimana dimandatkan oleh Perpres tersebut.

 

 

Sumber : https://kliklegal.com