Catatan dari rangkaian webinar INFID SDGs dan COVID-19
Pada Rabu, 20 Mei 2020, INFID kembali melangsungkan Webinar Series SDGs COVID-19 kedua, mengambil tema “Kelompok Rentan Lansia dalam Episentrum Penanganan COVID-19”. Webinar ini merupakan bagian dari empat rangkaian Webinar Series INFID SDGs COVID-19 yang memiliki tema besar “Menjadikan Inklusi dan Partisipasi Warga Sebagai Obat Mujarab COVID-19.”
INFID merasa perlu untuk membuat rangkaian webinar SDGs COVID-19 dikarenakan kekhawatiran pengaruh krisis COVID-19 terhadap pelaksanaan dan pencapaian SDGs di Indonesia. Kelompok rentan lansia mendapat fokus penting dikarenakan Presiden Jokowi telah mendeklarasikan krisis COVID-19 sebagai bencana nasional. Menurut Pasal 55, UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan kelompok rentan, dimana salah satunya adalah kelompok lansia.
Selain itu, prinsip utama SDGs yaitu “No One Left Behind”, tentunya juga memiliki perhatian bahwa tidak satu pun kelompok tertinggal dalam setiap aksi kegiatan pembangunan oleh pemerintah, termasuk di dalamnya dalam pelayanan publik. Diskusi ini menampilkan empat narasumber yaitu: 1) Adhi Santika (Pegiat lansia & Mantan Anggota Komnas Lansia 2008-2014), 2) Herni Ramdlaningrum (Manager Program Perkumpulan Prakarsa), 3) Farha Ciciek (Pendiri Tanoker Ledokombo Jember), dan 4) Brian Sriprahastuti (TA Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden RI).
Adhi Santika membuka webinar dengan statement, “Orang sering menyebut lansia itu termarjinalkan, jangan-jangan dimarjinalkan, atau bisa jadi lansia memarjinalkan diri sendiri karena tak diperhatikan sekitar”. Ucapan ini setidaknya menjelaskan rumitnya penyebab marjinalisasi kelompok lansia dalam masyarakat. Diperlukan analisa komprehensif bila memang pemerintah benar-benar ingin maksimal mensejahterakan kelompok lansia. Dalam situasi pandemi Corona, Adhi Santika juga menggarisbawahi pentingnya melihat angka absolut dan tren pertambahan lansia dalam suatu daerah. Kedua hal tersebut akan sangat mempengaruhi perlindungan kelompok lansia di masa krisis COVID-19.
Herni Ramdlaningrum menyampaikan advokasi kebijakan lansia harus terus dilakukan. Namun, saat pandemi datang, advokasi itu terhambat, bahkan RUU Kesejahteraan Lansia menjadi hilang dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Herni juga menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menua secara demografis. Tahun 2050, jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun akan meningkat menjadi 80 juta orang. Oleh karenanya, penting untuk segera disusun konsep kebijakan kesejahteraan lansia, jangan menunggu sampai adanya ledakan lansia. Bonus demografi tahun 2030, tentunya akan diikuti tingginya kelompok lansia dalam 20-30 tahun setelahnya.
Farha Ciciek yang berasal dari Tanoker, Ledokombo, Jember, menceritakan realitas kelompok lansia di tingkat daerah. Farha Ciciek yang mendampingi anak pekerja migran mendapati bahwa, ternyata pekerja migran menitipkan anak kepada nenek dan kakek mereka dengan kondisi finansial yang bisa dikatakan sangat miskin. Oleh karenanya, Komunitas Tanoker dan Karang Wreda bekerja sama untuk membuat Sekolah Eyang (wadah bagi para nenek untuk belajar banyak hal terutama kepengasuhan anak). Karang Wreda sendiri adalah wadah pemberdayaan lansia di desa/kelurahan yang jumlahnya sekitar 218 di 25 kecamatan. Beberapa kegiatan yang dilakukan di Karang Wreda diantaranya senam, posyandu lansia, wirausaha, rohani, koperasi dan lain-lain. Dana operasional untuk kegiatan tersebut didapatkan secara mandiri dan dukungan dana desa sebesar 6 juta rupiah/tahun. Cerita baik lansia di Jember ini tentunya perlu disebarluaskan, sehingga memberikan motivasi pemberdayaan lansia bagi daerah lainnya di Indonesia.
Brian Sriprahastuti, selaku perwakilan pemerintah dari Kantor Staf Presiden (KSP), menyebut pemerintah sudah mengatur kebijakan mengenai pelayanan kelompok rentan selama dan pasca COVID-19. Hal itu terutama merujuk pada UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Brian Sriprahastuti juga menyebutkan “Banyak hal yang masih harus diperbaiki, salah satunya penyediaan rumah aman, rumah sakit darurat yang ramah terhadap kelompok rentan termasuk lansia. Lansia sangat rentan dengan situasi pandemi ini”.
Pada sesi diskusi, peserta sangat antusias melontarkan tanggapan dan pertanyaan. Lucy Sandra dari Kementerian Sosial menyatakan bahwa Direktorat Lanjut Usia tetap memberikan perlindungan kepada lansia yang tidak termasuk dalam penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Salah satu konversi bantuan tersebut adalah Program Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia (Progres Lansia) yang bertujuan untuk memberikan rehabilitasi sosial, pendampingan, dukungan teknis dan dukungan aksesbilitas agar para lansia memiliki kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Selain itu, di tingkat provinsi dan kabupaten kota, sudah ada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang menekankan bahwa lansia terlantar merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
Yuniati Chuzaifah, salah satu peserta webinar dan merupakan Wakil Ketua Komnas Perempuan periode 2014 -2019, memberikan tanggapan bahwa memang banyak lansia yang menanggung lima sampai 7 cucu dari anaknya yang menjadi pekerja migran. Selain itu, kasus-kasus kriminalitas kepada lansia sangat banyak, sehingga kita perlu memberikan perlindungan kepada lansia terutama dalam masa pandemi COVID-19.
Hal lainnya yang juga menjadi fokus penting yaitu lansia penyintas korban pelanggaran HAM masa lalu. Kelompok lansia penyintas mendapatkan beban kerentanan yang berlipat karena tidak hanya sebagai lansia, tetapi juga menanggung stigma pelanggaran HAM yang berimplikasi kepada layanan pemerintah. Oleh karenanya, inklusi sosial menjadi penting sebagai alat bantu dalam memastikan kebijakan kesejahteraan kelompok lansia di Republik Indonesia.
Publikasi : https://www.asumsi.co/post/kelompok-rentan-lansia-dalam-episentrum-covid-19