Bahwa masalah ketimpangan perlu diatasi, kiranya sudah ada kesepakatan luas di Indonesia dan bahkan di seluruh dunia. PBB dalam dokumen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG) tahun 2015 menyepakati penurunan ketimpangan menjadi satu dari 17 tujuan utama SDG. Demikian juga dengan berbagai keputusan dan laporan dari lembaga-lembaga internasional G-20, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dan Forum Ekonomi Dunia (WEF).
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menetapkan bahwa menurunkan rasio gini menjadi prioritas pemerintah dalam jangka menengah. Dalam berbagai rapat kabinet, Presiden juga telah memberi arahan agar penurunan ketimpangan menjadi ukuran keberhasilan pembangunan, bukan hanya penurunan kemiskinan dan pengangguran. Yang menjadi soal dan bahan diskusi hari ini bukan lagi soal perlu tidaknya mengatasi ketimpangan, melainkan lebih kepada bagaimana cara menurunkan ketimpangan.
Pertanyaan-pertanyaan mengemuka: (i) apa yang harus dilakukan untuk memperkuat perolehan pajak agar sesuai dengan potensi ekonomi dan jumlah kelompok superkaya; (ii) apa yang harus diubah untuk memperkuat sumber daya manusia (SDM) dan angkatan kerja Indonesia agar daya saing ekonomi nasional dan perluasan kelas menengah dapat dipercepat; (iii) apa yang harus dilaksanakan untuk memastikan kesetaraan jender agar potensi sosial ekonom kesetaraan jender dapat diraih dalam waktu tidak terlalu lama.
Minggu lalu, INFID-Oxfam telah melansir laporan penelitian tentang ketimpangan di Indonesia. Laporan itu pada intinya berupaya menjawab soal-soal tersebut. Laporan berjudul "Menuju Indonesia Setara (MIS)" mengajak pemerintah untuk melaksanakan dua langkah utama: (i) memperbaiki dan memutakhirkan kebijakan pajak; (ii) memberi prioritas tinggi kepada kualitas SDM dan angkatan kerja—bagaimana meningkatkan kompetensi 60 persen angkatan kerja berpendidikan SD-SMP.
Pajak ketinggalan zaman
Laporan ini juga menyediakan data-data dan analisis perbandingan yang strategis bagi Pemerintah Indonesia untuk melaksanakannya dan mengembangkan.
Tanpa mengecilkan kinerja pemerintah dalam program amnesti pajak, laporan MIS menegaskan perlunya Indonesia terus-menerus memperbaiki dan memutakhirkan kebijakan pajak sehingga dapat mencapai potensinya hingga 20-21 persen dari produk domestik bruto (PDB) sebagaimana dihitung oleh Dana Moneter Internasional (IMF, 2011). Meski Indonesia anggota G-20 dengan kue ekonomi terbesar ke-20 dunia dan menjadi negara observer dalam OECD, kinerja pajak Indonesia masih jauh di bawah rerata negara berpendapatan menengah (middle income), yakni 25 persen dan jauh di bawah negara-negara maju 35 persen. Perolehan pajak Indonesia baru 12-13 persen dari PDB. Presiden Jokowi telah menargetkan kenaikan pajak hingga 16 persen PDB pada tahun 2019.
UU Pajak yang berlaku hingga hari ini terlalu usang, kuno, dan ketinggalan zaman karena tidak mencerminkan perkembangan dan realitas besaran ekonomi dan kemampuan membayar, terutama besaran kelompok superkaya Indonesia. Sementara UU pajak mematok batas tertinggi pajak penghasilan orang pribadi bukan karyawan (PPh) sebesar Rp 500 juta per tahun, kini Indonesia telah memiliki ratusan atau ribuan orang dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun.
Artinya, ketentuan golongan dan tarif pajak penghasilan orang pribadi bukan karyawan perlu diperbaiki sesuai dengan praktik wajar di dunia internasional. Misalnya, pengenaan tarif 40 persen bagi pendapatan di atas Rp 10 miliar per tahun dan 45 persen untuk penghasilan di atas Rp 20 miliar per tahun.
Indonesia hari ini adalah negara karyawan karena perolehan pajak penghasilan lebih ditopang oleh pajak karyawan-pekerja ketimbang pajak para pemilik perusahaan dan manajer perusahaan. Ini merupakan keanehan yang tidak baik (outliers). Profil pajak negara-negara menengah dan negara maju menunjukkan bahwa komposisi pajak terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi termasuk pemilik perusahaan dan manajer perusahaan disusul pajak perusahaan (pajak badan), dan selanjutnya pajak pembelian barang (PPn)
Pelatihan kerja
Laporan Bank Dunia tentang Ketimpangan Indonesia, Indonesia's Rising Divide (2015), menyebut salah satu sumber penyebab ketimpangan adalah ketimpangan pasar kerja. Laporan MIS (2017) meyakinkan pengambil kebijakan Indonesia untuk menaikkan alokasi anggaran pelatihan kerja/pelatihan vokasi oleh perusahaan dan BLK (10-20 persen dari dana pendidikan di APBN atau 10-20 persen dari Rp 400 triliun).
Mengapa? Karena, pelatihan vokasi kerja selama ini masih menjadi "anak tiri" ketimbang "anak kandung". Dua indikator utama adalah: terlalu minimnya alokasi anggaran untuk pelatihan kerja, sementara 60 persen angkatan kerja berpendidikan SD dan SMP. Selain itu, terlalu minimnya peran industri dalam pelatihan kerja.
Mari kita lihat angkanya. Dari dana pendidikan APBN Rp 400 triliun, alokasi pelatihan kerja (bukan SMK dan pendidikan kedinasan seperti STAN, Akademi Imigrasi) hanya di bawah Rp 2 triliun-Rp 3 triliun yang dikelola oleh dua atau tiga kementerian (Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, dan kementerian lainnya).
Peran industri di Indonesia dalam pelatihan kerja juga masih marjinal. Industri belum ikut serta secara aktif dalam pembentukan kurikulum BLK dan SMK agar lulusannya relevan dan cocok dengan kebutuhan pasar kerja. HRD berbagai perusahaan belum membentuk asosiasi yang khusus memajukan dan memperluas pelatihan vokasi. Hasilnya, sejak krisis ekonomi 1997 hingga hari ini, atau 20 tahun, industri Indonesia lebih sering kesulitan mencari tenaga kerja yang pas dan akhirnya lebih memilih membajak talenta dari industri lain ketimbang memproduksi talenta-talentanya sendiri.
Industri-perusahaan
Karena itu, laporan MIS mengajak berbagai perusahaan untuk ikut serta dalam menurunkan ketimpangan. Bagaimana caranya? Setidaknya ada empat cara: (i) patuh membayar pajak, baik pemilik maupun perusahaannya, (ii) ikut serta menyelenggarakan pelatihan kerja, baik untuk pekerjanya sendiri maupun untuk calon pekerja atau pencari kerja; (iv) membayar upah pekerjanya sesuai upah layak, dan (iv) mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk memperluas akses dan mutu pelatihan kerja, baik yang diselenggarakan sendiri dan atau bersama dengan BLK dan lembaga-lembaga pelatihan
Pengalaman negara lain layak kiranya dipelajari, khususnya negara-negara yang berhasil naik kelas dari level menengah menjadi negara maju. Di Korea dan Malaysia, misalnya, terdapat undang-undang yang mewajibkan industri-perusahaan menyisihkan dana untuk pelatihan kerja, dihitung dari total persentase gaji yang dibayarkan.
Di Jerman, semua pelatihan vokasi yang diselenggarakan didanai oleh industri dalam sistem pendidikan ganda (dual system). Separuh waktu siswa SMP-SMA belajar di sekolah (didanai oleh pemerintah) dan separuh waktu untuk praktik kerja dan belajar keahlian spesifik di industri (didanai oleh industri-perusahaan) Pemerintah dan Kadin-Apindo sebaiknya segera merumuskan langkah menemukan cara meningkatkan peran industri dalam memperluas akses dan mutu pelatihan vokasi.
Pemerintah perlu membuka ruang dan menyediakan insentif. Sementara Kadin-Apindo perlu meyakinkan anggotanya, terutama industri besar dan menengah, untuk ikut serta membangun keterampilan dan kompetensi angkatan kerja kita. Untuk kebaikan mereka sendiri dan untuk Indonesia masa depan.
SUGENG BAHAGIJO, DIREKTUR INTERNATIONAL NGO FORUM ON INDONESIAN DEVELOPMENT (INFID)
Sabtu, 04 Maret 2017, Harian Kompas